Batam | beritabatam.co : Nongsa, sebuah nama kecamatan yang bermula dari sebutan menunjuk kata jauh. Saat perahu yang dinaiki Opu Daeng Matata abang Siti Aisyah terbelah, ketika di naiki naga bortial atau naga berjengger atau disebut orang selayar nagalaarang di lokasi Batu Belah yang tidak jauh dari Pulau Putri, Pantai Nongsa. Kapal pun oleng kemudian tenggelam. Opu Daeng Matata akhirnya ditolong dan diantar oleh penduduk setempat. Opu Daeng Matata ditanya oleh penduduk, dimana sang adik Siti Aisyah berada. Opu Daeng Matata menjawab dengan mengatakan Nong jauh disana, yang kemudian menjadi Nongsa.
Kisah asal muasal dan penggalan sejarah masa lalu yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Nongsa, masih dapat diceritakan oleh Daeng Syahridin Panuntungi. salah satu keturunan para pendahulu yang pertama kali merintis awal mula daerah Nongsa.
Ia mengaku, meski tak lagi utuh sebagai sebuah kejadian runut, namun sejauh ini cerita itulah yang membuatnya tetap terhubung dengan kisah nenek moyangnya yang mulai terlupakan.
Tak hanya berkisah, Daeng Syahridin Panuntungi, menunjukkan beragam peninggalan yang disebutnya berasal dari para pendahulunya. Peninggalan kitab kitab tauhid hasil tulisan tangan berabjad lontarak, abjad bugis. Guci tua, senjata perang, diantaranya badik dan tombak. Parang dan beberapa naskah kuno masih ia simpan rapi di rumahnya di Batu Besar, Nongsa kota Batam.
Daeng Syahridin, cukup fasih menjelaskan kegunaan dan kisah yang menyertai tiap tiap peninggalan yang menjadi warisan keluarganya tersebut. Badik misalnya, senjata khas bugis itu dikatakannya terbuat dari material khusus yang kini sudah berusia ratusan tahun. Pada sisi badik terdapat tiga simbol yang terukir dibadan badik. Diantaranya, bintang, bulan dan matahari. Sementara tombak, yang sekilas memiliki materi yang sama dengan badik. Dikatakan Daeng Syahridin, disebut juga Poke Tau, yang artinya penombak orang. Karena memang digunakan sebagai senjata dalam peperangan dimasa lampau.
Dalam tentetan penjelasannya, beberapa kali Daeng Syafridin Panuntungi merujuk pada foto hitam putih yang menggambarkan deretan pria bersorban, yang disebutnya sebagai ‘orang tua’nya yang dahulu pertama kali merintis kehidupan di Nongsa.
Meretas masa lalu melalui peninggalan yang masih terjaga, dapat kita jumpai di Batu Besar, Nongsa. Daeng Syahridin kali ini, mengajak tim beritabatam.co melihat langsung sumur tua berusia seabad, yang berjarak sekitar seratus meter dari tempat tinggalnya. Sumur itu memang terlihat lebih layak dengan dinding kokoh dan terkesan masih baru. Ternyata sumur yang dikisahkan digali dengan tangan sendiri oleh Haji Abdurahman pada tahun 1912, ulama sekaligus kakek moyang Daeng Syahridin, memang sudah direnovasi. Tujuannya agar tetap lestari disamping tetap dapat dimanfaatkan airnya oleh masyarakat.
Sumur hasil galian tangan itu, ternyata memang tidak terlalu dalam. Hanya memiliki kedalaman lima sampai enam meter. Tapi ajaibnya, sumur yang sudah digunakan oleh warga selama ratusan tahun itu belum pernah mengering. Meski tak hanya dimanfaatkan masyarakat sekitar. Tak jarang juga digunakan oleh warga kampung sebelah, salah satunya dari Kampung Melayu.
Sebagai anak keturunan dari para pendahulu Nongsa, Daeng Syahridin Panuntungi bersama sanak saudara yang kini masih bertahan sebagai penduduk asli kelurahan Batu Besar, Nongsa. Memiliki keinginan agar dapat tetap melihat garis silsilah keturunan berperan aktif dalam melestarikan adat budaya dan peninggalan dari kakek moyang mereka.
“Apakah masih bisa dilestarikan, kalau memang bisa. Semua bisa menjadi area pariwisata pada adat budaya rumpun bugis, selayar dan melayu,” ucap Daeng Syahridin Panuntungi
Daeng Syahridin mengaku sempat dimintai aset dan peninggalan bersejarah yang dimilikinya untuk dikumpulkan dalam museum. Meski mereka belum tau persis, kemana dan seperti apa museum yang nantinya menjadi wadah bagi benda benda peninggalan yang mereka miliki.
“Peninggalan diminta oleh pemko Batam, dengan alasan mau dimuseumkan,” sebutnya.
Daeng Syahridin mengatakan, tidak keberatan dengan ide mengumpulkan peninggalan bersejarah yang saat ini masih dipegang sebagai warisan oleh warga setempat. Namun ia mengusulkan, sebaiknya museum atau apapun namanya. Bisa didirikan di wilayah Batu Besar, Nongsa. Selain karena alasan historis, Daeng Syahridin bercita cita tetap menjaga hubungan kedekatan emosional para anak keturunan dengan pendiri negeri yang dahulu berkarya dan berdakwah melalui benda dan aset yang ditinggalkan.
“Sebaiknya dibuat di Batu Besar. Jangan sampai nama nama datuk dan keturunan hilang seiring waktu. Jadi kita meminta agar pemerintah pro aktif untuk turut serta melestarikan budaya dan adat istiadat leluhur nenek moyang dari sejarah Batu Besar ini,” pintanya.
Sejauh ini, belum ada satu lembaga yang dapat menjadi payung atas aset dan benda bersejarah. Akibatnya, benda benda bersejarah hanya disimpan oleh masing masing keluarga sebagai harta turun temurun.
“Tidak ada satu lembaga yang menaungi. Dari KKSS Batam dan Kepri sempat ada program pelestarian. Tapi ternyata belum berjalan,” ujarnya.
“Saya melihat belum ada koordinasi dari cucu cucu suku asli tempatan, Peninggalan masih disimpan perorangan, sebagai aset keluarga. Saya menginginkan bisa disatukan, melalui satu wadah. Selain untuk upaya pelestarian, juga bisa memudahkan dalam inventaris. Agar bisa dikumpulkan. Baik dari sisi harta peninggalan maupun dari silsilah keluarga yang bersumber dari nenek moyang yang sama,” urai Daeng Syahridin.
“Alangkah baiknya kalau wadah yang bisa menyatukan itu di buat atau didirikan. Tentu kami minta sebaiknya berlokasi di area Batu Besar,” sebutnya lagi.
Lebih jauh, ia berharap, nantinya bisa menjadi daya tarik wisata sejarah di wilayah Batu Besar, Nongsa.
“Ini akan jadi jalan bagi generasi muda untuk mengenal adat istiadat dan asal muasal leluhurnya,” tutupnya. (Ben)
Discussion about this post